Sabtu, 05 September 2009

budaya jawa

Penyembelihan Pengantin di Gunung Gamping
Sebuah Studi Ritual Tradisi Bekakak di Ambar Ketawang
*Lutfianto,S.S

Upacara ritual yang menggunakan wujud “manusia” sebagai korban masih dijumpai di Yogyakarta sampai sekarang, khususnya di Kalurahan Ambar Ketawang Gamping Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ritual ini disebut bekakak. Upacara ini diselenggarakan setahun sekali setiap bulan Sapar antara tanggal 10 sampai dengan 20, berhari Jum’at. Tahun lalu diadakan tanggal 9 Maret 2007. Sementara tahun ini diperkirakan pada tanggal 22 Februari 2008, bertepatan dengan hari Jumat Kliwon. Dalam upacara ini dilakukan upacara ritual yang berupa penyembelihan bekakak. Bekakak adalah tiruan pengantin manusia yang dihias secara lengkap sebagai syarat magis-spiritual. Adapun bahan baku pembuatannya adalah dari ketan dan juruh. Bekakak kemudian di sembelih oleh rois atau kaum/ modin.
Penyembelihan yang menggunakan wujud pengantin sebagai peristiwa penyembelihan substitusi manusia. Sepintas lalu dipandang sebagai tindakan kekerasan/ sadisme. Namun benarkah peristiwa ritual ini merupakan tindakan kekerasan atau sadisme?. Inilah masalah yang akan diangkat sebagai pokok pembahasan.
Ritual secara umum pada dasarnya adalah merupakan pertunjukan. Ritual menunjukkan sebuah peristiwa yang dinamis dan mengarah pada komunikasi simbolik. Maka, di situ dikenali adanya simbol-simbol yang dipergunakan untuk menggambarkan perayaan upacara-upacara religius yang merupakan wujud pengabdian kepada Sang Pencipta.
Dalam rangka hal yang sama, diperlukan substitusi-substitusi korban yang diperkirakan menjadi turunan dari prototipe-prototipe sebelumnya. Teori substitusi ritual menyatakan bahwa substitusi digunakan untuk menggantikan barang asli yang sesuai. Hal ini dilakukan karena pada hakekatnya pengorban dan yang dikorbankan adalah sama. Maka dari itulah tindakan proses ritual merupakan komunikasi simbolis. Peristiwa ritual ini sepintas lalu memperlihatkan tindakan kekerasan atau sadisme. Selain dari pada itu ada hubungan yang erat antara ritual dan keberadaan hidup manusia. Yaitu, ritual merupakan bentuk sederhana dari proses material pada kehidupan.
Upacara Bekakak
Adapun pelaksanaan uacara saparan bekakak dapat diperinci dalam beberapa tahap. Tahap I midodareni, kata midodareni berasal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Malam midodareni (malam menjelang perkawinaan) para bidadari turun dari langit untuk memberi restu kepada pengantin bekakak. Tahap II adalah kirab. Pengantin bekakak diarak atau dibawa berkeliling. Tahap III menyembelih pengantin bekakak. Tahap terakhir adalah sugengan ageng, yaitu selamatan dengan sesaji lengkap yang merupakan ikrar kesetiaan rakyat terhadap Sri Sultan Hamengku Buwana I yang telah meninggal.
Bekakak Sebagai Substitusi Manusia
Pengantin bekakak seperti tertulis di atas, terbuat dari ketan dan juruh. Ketan dan juruh dalam tradisi Jawa dipakai sebagai perlengkapan sesaji dan fungsi dari ketan sendiri adalah untuk makanan para arwah leluhur. Jadi, bekakak yang terbuat dari ketan tersebut memang sengaja disajikan untuk makanan para arwah leluhur. Sehingga wajar, pengorbanan yang dilakukan dengan membentuk tiruan pengantin manusia menjadi substitusi dari korban yang sesungguhnya.
Sedangkan substitusi darahnya adalah air gula Jawa/ merah. Gula Jawa (gula merah) tersebut terbuat dari nira kelapa. Sementara itu pohon kelapa mempunyai buah yang istimewa. Keistimewaan buah kelapa adalah mempunyai air suci yang terbungkus dari serabut dan tempurungnya. Sehingga, penggambaran kesucian darah korban diwujudan atau disubstitusikan dengan yang berasal dari gula kelapa.
Oleh karena itu pengantin bekakak yang terbuat dari ketan dan juruh dapat dianggap sebagai manusia yang siap dimakan (dijadikan) korban. Sehingga, pensubstitusian manusia dengan bekakak dapat mewakili manusia itu sendiri.
Makna Ritual Di balik Proses Penyembelihan
Sebelum memaknai ritual di balik proses penyembelihan, di sini dipaparkan proses penyembelihan pengantin bekakak tersebut. Proses penyembelihan bekakak dilakukan apabila arak-arakan yang berasal dari balai desa telah tiba di Gunung Gamping Ambar Ketawang. Maka, tandu yang pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, ditaruh di mulut goa (sekarang berujud panggung berubin setinggi dua meter dan luasnya tujuh setengah meter persegi).
Rois yang bertugas memberi tanda agar tandu diberhentikan dan diletakkan di bawah serta menghadap ke mulut goa. Setelah memanjatkan doa, boneka tiruan manusia itu akhirnya dikeluarkan dari tandu. Mula-mula pengantin laki-laki diserahkan kepada kaum/ rois kemudian disembelih bagian leher hingga putus. Dahulu bagian kepala dan tubuh diletakkan di mulut goa. Namun sekarang, setelah disembelih kemudian dipotong-potong dan dibagikan kepada pengunjung. Demikian pula sesaji yang berada di dalam tandu lalu dibagikan kepada petugas pembawa tandu, sedangkan sesaji yang tak dapat dimakan kemudian dilebur. Seorang rois, setelah melaksanakan tugas penyembelihan, medapatkan selirang pisang raja.
Dalam proses penyembelihan di atas tampak kekerasan dan kesadisan. Lebih-lebih yang disembelih adalah pengantin. Akan tetapi kalau kita telusuri lebih mendalam. Tindakan semacam ini merupakan tingkat pengorbanan yang luar biasa. Pengorbanan yang semacam ini wajar dilakukan karena untuk mendapatkan kedamaian dan keharmonisan hidup.
Penutup
Dengan uraian di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwa setiap upacara ritual pasti akan memerlukan sebuah pengorbanan. Materi korban dapat berupa tumbuhan, hewan ataupun manusia sebagai simbol, korban dapat berupa substitusi-substitusi yang diperkirakan menjadi turunan dari pototipe-prototipe sebelumnya.
Adanya korban dalam sebuah upacara ritual merupakan sebuah wujud komunikasi yang dinamis antara makhluk dan pencipta. Sehingga seberapa besar pengorbanan tetap akan dilakukan.
*Pengamat budaya Jawa lulusan sastra nusantara/ Jawa UGM dan guru Bahasa Jawa SMA Negeri I Pajangan Bantul Yogyakarta

1 komentar: