Kamis, 10 September 2009

cerkak

KETEMU JODHO
Lutfianto,SS*

“ Nengendi aku iki?”
“Syukur, Panjenengan sampun eling”. Perawat iku nyoba nyedak lan ngerih-erih.
“ Asytaghfirullah. Aku neng rumah sakit”. Aku nyoba tangi nanging rasane abot banget. Gek awak pegel kabeh.
“ Sing sareh wae mbak. Njenengan kedah istirahat”.
Sawetara iku ing Bunderan UGM .
“Kanca-kanca awake dhewe tetep kudu mudhun, masyirah (aksi ) iki kudu ditindakake. Udan ora dadi alangan”.
“ Kapitalismeeeeeee”
“ Hancurkan”
“Sekulerismeeeeeee”
“ Hancurkan”
“ Syariah Islam”
“ Tegakkan”
“Allaaaaaahhuakbar”
“ Allaaahhuakbar”
“ Para pangreh pangembating praja cagaking negari ingkang pantes sinudarsana, kula sakkanca saking Gerakan Mahasiswa Pembebasan nindakake masyirah/ aksi damai nolak rencana kenaikan BBM. Iki negri dagelan, lucu, bumi kita sugih nanging rakyat cilik padha ngelih, malah para kapitalis njaban rangkah diujarake njarah rayah…..”
Dina candhake ing masjid kampus UGM.
“Zidny, nengendi Faiqah. Ngapa dheweke durung ketok. Biasane halaqahe ontime. Malah sikik dheweke ketimbang Aku”. Imarofah nyoba mbukak gunem.
“ Masyirah/ aksi wingi ya ra ketok, hpne mati maneh. Wis bola bali tak bel”.
“ Wis diwiwiti wae halaqahe esuk ini?”.
Sawetra iku ing griya sakit PKU.
(aww. Bapak. Dinten Selasa niki ngendikane badhe kondur saking dinas Jakarta. Dilegakne mampir PKU tilik Faiqah, nggih?wass). Faiqah nge-sem-es.
“ Suster, sinten ingkang beta kula mriki?”. Aku nyoba mbenahi sprei lan ngranggeh tangane suster
“ Kangmasmu ingkang mbeta mriki. Mangke bakda dhuhur badhe mriki. Kuliyah rumiyin, ngendikanipun”.
Aku ngowoh. Kangmasku ? kangmasku sing endi ?. Loro-lorone lagi tugas belajar neng luar negeri. Ora mungkin.
(Bersyukur kepada Allah, setiap nafasmu, seluruh hidupmu …..)
“ Ass. Waalaikum salam”.
“ Sayang, kowe kena apa, Faiqah ?. Pesawat lagi tekan Adisutjipta. Enteni sedhela Aku tak langsung neng PKU.
“ Nggih Pak, Faiqah tengga”?. Ora krasa mripatku kembeng-kembeng teles.
Bakda sholat dhuhur.
“Mbak Faiqah, kangmas panjenengan rawuh nika ”. Perawat iku ngirim jatah maem awan banjur metu maneh.
“ Ass.......Syukur, kahananmu mundhak saya apik. Lho ngapa kok nangis. Luwih becik aku tak metu wae”. Aku menyat metu, aku trenyuh ndeleng cah wadon nangis.
“ Maaas tengga riyin!”. Aku kaget, lan bali maneh.
“Matur nuwun nggih? Panjenengan sampun maringi pambiyantu dhateng kula. Pripun masyirah/ aksi kanca-kanca Jumat wingi. Sae?. Faiqah nerusake pitakonan. Sakdurunge tak jawab dumadakan.
“ Ass.....Faiqah? kowe ora apa-apa to?”.
“ Bapaak. Faiqah ora apa-apa. Mung lecet-lecet sithik. Ngendikane dhokter sesuk sore wis entuk bali.
Bapak-anak kuwi ngesok rasa kangen, trenyuh. Aku metu, tumuju masjid Asy-syifa nindakake sholat asar.
Bakda sholat asar.
“Lho, kadose sampeyan ingkang wonten bangsal lare kula wau?
“ Leres Pak”. Aku gage diajak nuju bangsal papane Faiqah dirawat”
“ Nyuwun pangapunten nggih, anakku nggoleki sampeyan”.
Tekan bangsal.
“ Bapak, lha iki sing tak critake mbiyen ?”.
“Nyuwun donga pangestu nggih, kula badhe nyampurnakaken gesang kula kaliyan piyambakipun”. Faiqah nambahi.
“Kowe wis suwe padha pacaran ya?”.
“Pacaran! Ehm Bapak, mosok ora ngerti karo Faiqah. Ora entuk pacaran neng agama Islam, sesuk pacarane sakbubare nikah. Pokoke wis cocok lah, Pak”
“Aku kelingan, setahun kepungkur. Rikala tengah wengi, satengahe aku sholat tahajud. Aku krungu kowe nglindur, nyebut jenenge Lutfi ”.
“Aaaah, Bapak niki, aku dadi isin lho?”. Pipine Faiqah dadi abang kaya tomat. Aku dhewe mung mesem nggatekake bapak-anak kuwi.
*Guru (Bahasa Jawa) SMA Negeri 1 Pajangan Bantul.
Tinggal di Kasihan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta

Sabtu, 05 September 2009

budaya jawa

Penyembelihan Pengantin di Gunung Gamping
Sebuah Studi Ritual Tradisi Bekakak di Ambar Ketawang
*Lutfianto,S.S

Upacara ritual yang menggunakan wujud “manusia” sebagai korban masih dijumpai di Yogyakarta sampai sekarang, khususnya di Kalurahan Ambar Ketawang Gamping Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tradisi ritual ini disebut bekakak. Upacara ini diselenggarakan setahun sekali setiap bulan Sapar antara tanggal 10 sampai dengan 20, berhari Jum’at. Tahun lalu diadakan tanggal 9 Maret 2007. Sementara tahun ini diperkirakan pada tanggal 22 Februari 2008, bertepatan dengan hari Jumat Kliwon. Dalam upacara ini dilakukan upacara ritual yang berupa penyembelihan bekakak. Bekakak adalah tiruan pengantin manusia yang dihias secara lengkap sebagai syarat magis-spiritual. Adapun bahan baku pembuatannya adalah dari ketan dan juruh. Bekakak kemudian di sembelih oleh rois atau kaum/ modin.
Penyembelihan yang menggunakan wujud pengantin sebagai peristiwa penyembelihan substitusi manusia. Sepintas lalu dipandang sebagai tindakan kekerasan/ sadisme. Namun benarkah peristiwa ritual ini merupakan tindakan kekerasan atau sadisme?. Inilah masalah yang akan diangkat sebagai pokok pembahasan.
Ritual secara umum pada dasarnya adalah merupakan pertunjukan. Ritual menunjukkan sebuah peristiwa yang dinamis dan mengarah pada komunikasi simbolik. Maka, di situ dikenali adanya simbol-simbol yang dipergunakan untuk menggambarkan perayaan upacara-upacara religius yang merupakan wujud pengabdian kepada Sang Pencipta.
Dalam rangka hal yang sama, diperlukan substitusi-substitusi korban yang diperkirakan menjadi turunan dari prototipe-prototipe sebelumnya. Teori substitusi ritual menyatakan bahwa substitusi digunakan untuk menggantikan barang asli yang sesuai. Hal ini dilakukan karena pada hakekatnya pengorban dan yang dikorbankan adalah sama. Maka dari itulah tindakan proses ritual merupakan komunikasi simbolis. Peristiwa ritual ini sepintas lalu memperlihatkan tindakan kekerasan atau sadisme. Selain dari pada itu ada hubungan yang erat antara ritual dan keberadaan hidup manusia. Yaitu, ritual merupakan bentuk sederhana dari proses material pada kehidupan.
Upacara Bekakak
Adapun pelaksanaan uacara saparan bekakak dapat diperinci dalam beberapa tahap. Tahap I midodareni, kata midodareni berasal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Malam midodareni (malam menjelang perkawinaan) para bidadari turun dari langit untuk memberi restu kepada pengantin bekakak. Tahap II adalah kirab. Pengantin bekakak diarak atau dibawa berkeliling. Tahap III menyembelih pengantin bekakak. Tahap terakhir adalah sugengan ageng, yaitu selamatan dengan sesaji lengkap yang merupakan ikrar kesetiaan rakyat terhadap Sri Sultan Hamengku Buwana I yang telah meninggal.
Bekakak Sebagai Substitusi Manusia
Pengantin bekakak seperti tertulis di atas, terbuat dari ketan dan juruh. Ketan dan juruh dalam tradisi Jawa dipakai sebagai perlengkapan sesaji dan fungsi dari ketan sendiri adalah untuk makanan para arwah leluhur. Jadi, bekakak yang terbuat dari ketan tersebut memang sengaja disajikan untuk makanan para arwah leluhur. Sehingga wajar, pengorbanan yang dilakukan dengan membentuk tiruan pengantin manusia menjadi substitusi dari korban yang sesungguhnya.
Sedangkan substitusi darahnya adalah air gula Jawa/ merah. Gula Jawa (gula merah) tersebut terbuat dari nira kelapa. Sementara itu pohon kelapa mempunyai buah yang istimewa. Keistimewaan buah kelapa adalah mempunyai air suci yang terbungkus dari serabut dan tempurungnya. Sehingga, penggambaran kesucian darah korban diwujudan atau disubstitusikan dengan yang berasal dari gula kelapa.
Oleh karena itu pengantin bekakak yang terbuat dari ketan dan juruh dapat dianggap sebagai manusia yang siap dimakan (dijadikan) korban. Sehingga, pensubstitusian manusia dengan bekakak dapat mewakili manusia itu sendiri.
Makna Ritual Di balik Proses Penyembelihan
Sebelum memaknai ritual di balik proses penyembelihan, di sini dipaparkan proses penyembelihan pengantin bekakak tersebut. Proses penyembelihan bekakak dilakukan apabila arak-arakan yang berasal dari balai desa telah tiba di Gunung Gamping Ambar Ketawang. Maka, tandu yang pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, ditaruh di mulut goa (sekarang berujud panggung berubin setinggi dua meter dan luasnya tujuh setengah meter persegi).
Rois yang bertugas memberi tanda agar tandu diberhentikan dan diletakkan di bawah serta menghadap ke mulut goa. Setelah memanjatkan doa, boneka tiruan manusia itu akhirnya dikeluarkan dari tandu. Mula-mula pengantin laki-laki diserahkan kepada kaum/ rois kemudian disembelih bagian leher hingga putus. Dahulu bagian kepala dan tubuh diletakkan di mulut goa. Namun sekarang, setelah disembelih kemudian dipotong-potong dan dibagikan kepada pengunjung. Demikian pula sesaji yang berada di dalam tandu lalu dibagikan kepada petugas pembawa tandu, sedangkan sesaji yang tak dapat dimakan kemudian dilebur. Seorang rois, setelah melaksanakan tugas penyembelihan, medapatkan selirang pisang raja.
Dalam proses penyembelihan di atas tampak kekerasan dan kesadisan. Lebih-lebih yang disembelih adalah pengantin. Akan tetapi kalau kita telusuri lebih mendalam. Tindakan semacam ini merupakan tingkat pengorbanan yang luar biasa. Pengorbanan yang semacam ini wajar dilakukan karena untuk mendapatkan kedamaian dan keharmonisan hidup.
Penutup
Dengan uraian di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwa setiap upacara ritual pasti akan memerlukan sebuah pengorbanan. Materi korban dapat berupa tumbuhan, hewan ataupun manusia sebagai simbol, korban dapat berupa substitusi-substitusi yang diperkirakan menjadi turunan dari pototipe-prototipe sebelumnya.
Adanya korban dalam sebuah upacara ritual merupakan sebuah wujud komunikasi yang dinamis antara makhluk dan pencipta. Sehingga seberapa besar pengorbanan tetap akan dilakukan.
*Pengamat budaya Jawa lulusan sastra nusantara/ Jawa UGM dan guru Bahasa Jawa SMA Negeri I Pajangan Bantul Yogyakarta

budaya jawa

Busana Penganten Gagrag Ngayogyakarta Lan Surakarta*
(diaturaken sarana sesorah)

Mugi kawilujengan, kabagaswarasan, saha karahayon tansah kajiwa kasarira dening kula tuwin Panjenengan sedaya. Para sesepuh, para pinispuh, saha para pepundhen ingkang dahat kinabekten, saha para tamu kakung miwah putri ingkang kinurmatan. Langkung rumiyin mangga kula dherekaken muji syukur dhumateng Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, ingkang sampun paring kanugrahan saha kanikmatan ingkang tanpa pepindhan, saengga kula tuwin Panjenengan sadaya saged pepanggihan wonten ing sasana menika kanthi widada nir ing sambekala.
Bapak-bapak, ibu-ibu, saha para rawuh ingkang minulya, wonten ing pepanggihan menika kula badhe ngandharaken busana penganten gagrag Nyayogyakarta lan gagrag Surakarta. Busana tuwin simbol-simbol ingkang wonten ing busana menika saged kangge titikan kabudayaning bangsa. Makaten ugi tumraping tiyang Jawi. Wonten reroncen tembung ingkang ungelipun ” ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, ajining awak saka tumindak”. Menika mracihnani bilih busana tumraping tiyang Jawi kalebet nemtokaken satunggaling pawongan menika dipunaosi menapa boten. Wekdal samangke busana penganten adat tradisional taksih dipunlestantunaken, jalaran kayektosanipun sanajan jamanipun sampun majeng sanget, nanging menawi ngawontenaken pawiwahan palakrama, tiyang Jawi taksih kathah ingkang remen ngginakaken busana adat tradisional Jawi. Sarehdene penganten menika asring sinebat Raja sa-ari, pramila busananipun inggih niru utawi ngemba busananing raja.
Kajawi menika, mila keblating kabudayan Jawi menika inggih kraton. Saderengipun jaman kamardikan, upacara dhauping panganten menapa dene busananipun kajumbuhaken kaliyan drajat tuwin pangkat. Jaman rumiyin ingkang ngagem busana kados ingkang dipunagem ing kraton, inggih namung kulawarga utawi sentananing raja. Samenika jamanipun sampun ewah-gingsir, busana penganten kraton sampun dados darbekipun masyarakat. Sinten kemawon ingkang badhe krama, badhe milih ageman corak menapa kemawon sampun mboten wonten pambenganipun.
Bapak-bapak, ibu-ibu, saha para tamu ingkang tansah amemayu pepoyaning kautamen, perlu kawuningan bilih busana penganten gagrag Ngayogyakarta menika sakawit wonten gangsal. Awit saking kathahipun panyuwunan saking masyarakat, mliginipun ingkang ngrasuk agami Islam, kraton Ngayogyakarta netepaken busana Paes Ageng Kanigaran, minangka busana resmi gagrag Ngayogyakarta. Kanthi mekaten busana penganten Ngayogyakarta menika wonten enem inggih menika:
Busana penganten Paes Ageng
Busana penganten Paes Ageng Jangan Menir
Busana penganten Yogya Putri
Busana penganten Kesatriyan Ageng
Busana penganten Kasatriyan
Busana penganten Paes Ageng Kanigaran
Bapak-bapak, ibu-ibu, saha para rawuh ingkang minulya, busana Paes Ageng Kanigaran menika, corakipun sami kaliyan Busana Paes Ageng nanging dipunagemi rasukan, kulukipun ngagem Kuluk Kanigara mboten ngagem Kuluk Matak. Busana Kanigaran menika prayogi sanget tumrapipun ingkang sami kepingin ngagem busana Paes Ageng, sarta boten perlu ajrih winastan boten nutup aurat jalaran sampun ngagem rasukan.
Dene busana gagrag Surakarta wonten werni sekawan, inggih menika:
Busana Penganten Paes Ageng/ basahan
Raja Keputren
Kasatriyan
Mangkunegaran
Kagem busana Paes Ageng, Jangan Menir, lan Kanigaran mboten ngagem rasukan/ kain lumrah nanging ngginakaken dodot, inggih menika kain batik ingkang wiyaripun kirang langkung 8 meter (7 kacu).
Ingkang pungkasan, sumangga sakboten-boten asiling kabudayan menika dipun sinau, langkung-langkung werdinipun utawi simbol-simbol ingkang wonten ing busana menika.
Para tamu ingkang pantes sinudarsana, kados cekap semanten ingkang saged kula aturaken. Wonten kiranging subasita, saha kirang tumata pangrakiting basa, saestu kula nyuwun gunging samodra pangaksami. Matur nuwun.
*kapethik saka yogya basa jilid III
Negesi tembung
Busana : sandhangan, panganggo, ageman
Gagrag : corak, cara, model
Sesepuh : tiyang ingkang mila sampun sepuh, sampun kathah yuswanipun
Pinisepuh : tiyang ingkang gadhah kalenggahan sanajan taksih enem
Pepundhen : tiyang ingkang dipunaosi utawi dipunurmati
Sasana : papan, panggenan
Dhaup : dadi manten, wis sesomahan
Sentana : sanak sedulure priyayi gedhe/ pakuburan
Pambengan : alangan
Darbe : duwe/ gadhah
Mligi : ngemungake, ora ana liya kejaba mung,
Widada : wilujeng, slamet
Nir : kalis, tebih saking
Sambekala : reribed, rubeda
Sinudarsana : ditiru, dituladha, diconto
Kuluk : makutha, panuggul, kethu agemane para priyayi yen pinuju pasowanan Kuluk kanigaran: makuthaning raja warninipun cemeng dipunplisir jene/ mas
Kuluk matak : makutha ingkang warni biru laut agemanipun raja putra ingkang badhe nggentosi jumeneng nata

macapat

SEKAR DHANDHANGGULA PADHA SIH
SLENDRO PATHET SANGA
LUTFIANTO,S.S.

Tembang sepisan

Emansipasi eling Kartini
Yen da ra eman padha delenga
Ora mung weruh kasile
Wanita saya maju
Kabeh manungsa padha ngerti
Dadi cagak negara
Iku kang satuhu
Jejering para wanita
Mula den persudi para kadang estri
Kawruh ingkang utama

pendapat guru

GURU: HARUS BERPERAN OPTIMAL
Lutfianto,S.S.*

Praktis pembelajaran dewasa ini mengalami perubahan yang demikian pesat; dari yang semula konservatif ditandai dengan peran dominan guru (teacher-centered) kini bergeser pada dominannya peran aktif siswa (student-centered). Relasi peran guru murid dalam pembelajaran memang telah jauh berubah dari yang semula murid hanya diposisikan sebagai objek kini tidak lagi demikian; siswa adalah subjek yang menentukan. Ini merupakan salah satu hal yang penting yang dikemukakan oleh Dr. Nugroho, M.Si. di dalam buku ”Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia”.
Beliau menambahkan, peran dan fungsi guru dalam pembelajaran modern mencakup; pemandu bakat dan potensi siswa, pengembang kurikulum, perancang disain pembelajaran, pengelola proses pembelajaran, peneliti, penulis dan penilai proses serta hasil belajar. Untuk penilaian proses terdapat sejumlah model penilaian yang tampaknya lebih sesuai digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut, yaitu dengan evaluasi proyek, evaluasi performa dan evaluasi portofolio. Ketiga evaluasi ini dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat evaluasi karena mempunyai karakteristik yang berbeda.
Selanjutnya untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi pendidik dibutuhkan bekal pengetahuan dan keahlian yang ditopang sikap kerja yang penuh dedikasi terhadap profesi guru. Namun apakah setiap guru telah sadar akan hal ini?.
Setidaknya ada empat hal yang mengganggu perubahan ke arah ini. Beliau melanjutkan dalam penutupnya. Paling tidak ditinjau dari peran guru yang terkesan ideal, dalam realitasnya tidak mudah untuk dilakukan. Ada beberapa hal yang ada dan segera mengharuskan untuk: Pertama, sikap mental guru yang sudah terlanjur ”dimanjakan” dengan model instruksi dari atasan sehingga melumpuhkan daya juang mereka untuk secara kritis sanggup memulai perubahan. Sudah lama para guru dininabobokkan dengan satuan pelajaran yang sudah jadi (dicetakkan), Lembar Kerja Siswa sudah tinggal menjual ke murid; dukungan bank soal lengkap dengan kunci jawaban untuk pelaksanaan ujian. Ada kecenderungan guru menikmati secara nyaman kondisi yang ada tanpa daya kritis untuk meretas perubahan atas prakarsa sendiri. Kedua, iklim kerja di lingkungan guru sudah ”terpola” statis, kurang dinamis dan kurang akomodatif terhadap potensi kreatif para guru. Para kepala sekolah dan pengawas umumnya juga cenderung menyukai guru yang ”patuh” ketimbang guru yang kritis dan kreatif.
Ketiga, bujukan para kapitalis pendidikan dalam bisnis perbukuan menjadikan potensi penulisan buku dikalahkan dengan tawaran bonus dan diskon dari penerbit, atau percetakan. Keempat, penghargaan masyarakat dan pemerintah terhadap kinerja guru relatif kurang bagus sehingga berakibat tidak terlalu banyak generasi muda cerdas yang tertarik menjadi guru. Meskipun sekarang sistem penanjakan jenjang karir dan penggajian relatif lebih baik namun hal ini juga masih sulit meningkatkan kinerja guru.
Apapun kendala yang ada, namun dengan itikat baik dari pemerintah melalui Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan, akan memberikan warna yang baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Peran guru akan menjadi lebih optimal manakala ada peran aktif murid. Sehingga murid diposisikan sebagai subjek yang ikut menentukan kesuksesan dalam proses pembelajaran. Semoga setiap upaya yang dilakukan guru untuk berperan serta ikut mencerdaskan bangsa mendapatkan kemudahan dari-Nya. Amin.
*Guru GTT (Bahasa Jawa) SMA Negeri 1 Kasihan Bantul.

pendapat guru

PERPUSTAKAAN KELAS, MENGAPA TIDAK ?
Lutfianto,S.S.*

Setiap sekolah dipastikan mempunyai perpustakaan, bagaimanapun jeleknya perpustakaan itu. Nah, selanjutnya bagaimana kalau perpustakaan itu berada di kelas?. Jawabannya sangat mungkin dan bisa dilakukan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap kelas itu mempunyai wali kelas dan punya struktur organisasi kelas, yaitu ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan sei-sei. Hal ini dimungkinkan untuk diadakan perpustakaan kelas atau sekedar taman bacaan di kelas.
Pertanyaan selanjutnya adalah darimana buku-buku itu diperoleh?. Sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan buku-buku tersebut. Salah satunya adalah dengan mengadakan program one man one book, satu orang (siswa) satu buku. Program ini bisa dilakukan setiap tahun sekali, semester sekali, atau bahkan tiga bulan sekali. Buku yang diusahakan adalah buku-buku materi pelajaran dan buku-buku yang berisi pengetahuan umum serta yang memompa semangat belajar siswa.
Jika program ini dilakukan setiap semester, katakanlah jumlah setiap kelas sekarang adalah 35 siswa. Maka, kita akan mendapatkan 35 buku setiap semesternya (dengan berbagai macam judul buku). Setelah program ini berlangsung 3 tahun maka setiap kelas akan terkumpul 210 buku di setiap kelas dan itu akan bertambah 35 buku setiap semesternya. Dengan adanya perpustakaan kelas, siswa tidak akan lagi bermasalah dengan kekurangan buku atau referensi untuk belajar. Setiap saat siswa dapat belajar atau hanya sekedar membaca buku di kelasnya.
Bagaimana dengan perpustakaan di sekolah?. Apakah dengan adanya perpustakaan kelas perpustakaan sekolah akan mati?. Jawabannya adalah tidak, sama sekali tidak. Perpustakaan sekolah akan menjadi Unit Pelayanan Tehnis perpustakaan sekolah. Selain itu perpustakaan kelas menguntungkan bagi para siswa yang enggan ke perpustakaan sekolah karena terkendala aturan yang mewajibkan kartu dan antrian yang panjang. Permasalahan mereka akan teratasi dengan perpustakaan kelas yang dikelola bersama teman-teman di kelasnya.
Dengan demikian, pengadaan buku-buku atau mendekatkan buku ke para siswa menjadi sebuah keharusan. Dengan kata lain membuat lingkungan yang kondusif untuk belajar merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Prof. Dr H. Sunarto dalam bukunya ”Perkembangan Peserta Didik”, secara psikologis, karakteristik individu itu ada dua, yaitu karena bawaan (heriditas) gawan bayi dan lingkungannya. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan biologis cenderung lebih bersifat tetap. Sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Atas dasar ini pengkodisian sekolah atau dalam hal ini kelas sebagai kawah candradimuka murid sebagai tempat melahirkan manusia pembelajar akan dengan mudah tercapai.
Dengan demikian terdapat korelasi yang positif berkenaan dengan adanya perpustakaan kelas dan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Jadi, tidak ada salahnya untuk menghadirkan perpustakaan di setiap kelas. Perpustakaan kelas, mengapa tidak?. Sekian.
*Guru GTT (Bahasa Jawa) SMA Negeri 1 Kasihan Bantul.
Tinggal di Kasihan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta (08122964680)

Dikirim tgl 17 Februari 2008

cerkak

Ayam Goreng Turahan
*Lutfianto.S.S.

“Ayo kanca-kanca, mampir warung kene dhisik aku durung sarapan jare” ngono kandhane Yusa kětua rombongan sub-unit KKN-ku. Dina iku aku karo kanca-kanca pada survei lokasi.
“ Kula, gado-gado wae bu, dadine ayame pitu ?”, Yubra nyusul aba beda.
Sinambi ngěnteni pěsěnan, aku sakanca banjur golek papan palungguhan sing rada kiwa lan cukup kanggo bocah wolu.
“ Nah, kene wae, sěnajan mung lesehan malah kěpenak sinambi diskusi”. Yusa langsung ndlosor ngono wae.
Sauntara swasana rada sidhěm, kagawa hawa sing pancen adhěm, kěkěs rasane. Bedha adoh karo kampus, apa maneh Prapatan Mirota Kampus UGM. Dalan-dalan isih rada sěpi, mung truk-truk kang sliwěran ngangkut watu apadene pasir saka Kali Gendhol..
Saka kadohan Gunung Merapi katon kětingal ngawe-awe, sajak manggakke yen arep katěkan bocah-bocah saka UGM sing arěp KKN. Pědhut sing maune nutupi, dadi sumilak padang kasaput angin těkaku sarombongan. Aku mběněrkě anggonku nganggo jaket, saya tak rapětake. Kěthu sing maune ana tas wus ana ing sirahku.
“ Aděm, Fi “. Aku mung manthuk. Angin sumilir nggawa freon-freon alami saya nambahi kěkěsing awakku. Wit-wit pinus padha ngaděg anjějěr, goyang mrana goyang mrene sajak nggoda atiku.
“Siwi, kowe ra aba wedang pa?” Ira takon marang Siwi.
“ Oh, iya Wi sori saiki dina Senin ya? Edaan těnan kok ra ngomong kawit mau ya, ngěrtiya rak ora mampir?”. Yusa sajak ora kěpěnak ngěrteni kahanane Siwi.
Bubar survei, jam tělu tak anggo turu aměrga kěsěl. Sore, jam lima wis adus rěsik, sinambi maca-maca buku pembekalan KKN, ora keri ngrungoake pěngajiane Pak Barun saka Radio Persatuan Bantul.
“Fi, antuk paketan nasi bungkus saka mbuh kae mau, jare saka kancamu. Kanggo buka”.
“Yoh matur nuwun. Selehna kono wae měngko tak nggone buka.”. Sapa maneh iki, ngirim takjilan barang, jane ya rung sasi pasa. Ora sranta banjur tak bukak bungkusan kuwi, lha dalah asytaghfirullah. Barang turahan diwenehke aku. Sakala, dadi abang praenanku. Yen ora ngelingi pasa wis tak abur-abur kiriman iki. Lagi sěpisan iki aku antuk kiriman barang kaya mangkene. Pancen tak akoni sing jěněngane anak kos, sědina mangan sěpisan kuwi wus biasa. Apa maneh yen mung pasa Senen-Kemis, kuwi wus lumrah.
Bungkusan tak bukak maneh, iya běněr iki gěnah barang turahan. Atiku saya nggrantěs, tak trimak-trimakake. Ya, kaya mangkene iki nasipe wong kěsrakat (batinku). Aku kelingan ngomah, kaya ngapa rasane rama ibu yen měruhi kahananku. Kiriman wesel saben wulan mung cukup kanggo setengah wulan. Tujune, ana rejeki liya melu nutupi butuhku. Mbuh kuwi saka mulang TPA, apa menehi privat putrane bu RT.
“Anton, wis mbok icipi apa iki mau”. Aku takon sajak durung ilang rasa muringku. Anton apa dene aku padha wae, bapake ya mung pegawe negri golongan cilik lan wus pensiun maneh. Cumpen, amarga bayare wae kudhu dibagi karo adi-adine. Mulane aku karo deweke trima manggon ana masjid, dadi ora nganggo bayar kos-kosan barang.
“ Durung Fi, aku dhurung ngowah-owahi, serius?”. Anton mbalěs sajak kaya ora dipěrcaya.
Sěga banjur takselehake lěmari makan, aku ra sida mangan mung ngombe teh angět kanggo mbatalake pasa, langsung gage bablas měnyang masjid. Wěktu magrib nganti isak tak ěntekake kanggo nděrěs Qur’an. Bubar isyak aku lagi bali. Sadurunge maěm ngungak Hp duweke masjid sing dititipake aku, mbokměnawa ana sms mlěbu., těnan “Slamat berbuka puasa tmn baruku, sy nggak menyangka msh ada orang yg se’alim engkau. Smoga ini awal yg baik buat qt & smoga ttp smangat&konsisten memegang izzatul Islam, yg slama ini msh brt buat sy, wass “( Yubra). Yubra, bocah saka Jakarta nge sem es.
Aku kelingan kědadean mau awan, lho kok mung barang turahan. Niat ora Yubra anggone menehi iki? Gek sisane iki nengěndi ?. Aku mung bisa dhělěg-dhělěg ngampět kahanan. Karěpe kěpriye kancaku siji iki?.
“Aja kgt sobat, tak kr njěněngan wis ngěrti. Yen sing sěparo lg di maěm…..he he he. Slamat berbuka puasa ya?smoga besuk berlanjut d saat qt KKN, km smua d sni mndukung kalian”( Nanum). Sadurunge arěp takon jěbul mbak Nanum, nambahi nge-sem-es.
*Guru GTT (Bahasa Jawa) SMA Negeri 1 Kasihan Bantul.
Tinggal di Kasihan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta (08122964680)